Sabtu, 14 Februari 2015

Persib Juara


Malam Terang di Jakabaring
Pangeran Siahaan - detikSport
Sabtu, 08/11/2014 14:34 WIB

http://beta.newopenx.detik.com/delivery/lg.php?bannerid=9738&campaignid=3382&zoneid=1134&loc=1&referer=http%3A%2F%2Fsport.detik.com%2Faboutthegame%2Fread%2F2014%2F11%2F08%2F143413%2F2742735%2F1591%2Fmalam-terang-di-jakabaring&cb=12c9016acc
thumbnail
CNN Indonesia/Adhi Wicaksono
Seandainya bapak saya tidak mengisahkan kejayaan PSMS waktu kecil, saya sudah membaptis diri sendiri menjadi fan Persib Bandung semalam. Anda tahu bahwa Anda sejak menyaksikan sesuatu yang luar biasa di lapangan sepak bola ketika yang tidak ada yang Anda rasakan selain berharap kosong bahwa tim yang sedang mendapatkan dukungan militan dari puluhan ribu suporternya yang menyeberang pulau itu adalah tim Anda.






Kecintaan kepada klub sepakbola adalah sesuatu yang tribal dan tak bisa ditawarkan. Konsensus umum mengatakan bahwa Anda tidak memilih klub Anda, tapi tetapi klub tersebut memilih Anda. Tidak semua orang menerima konsep takdir, tapi sulit untuk membantah anggapan bahwa ada tangan tak terlihat yang sudah memilihkan klub untuk anda sebelum Anda lahir. Tapi pada hari-hari tertentu, Anda bisa dimaafkan jika kesetiaan anda kepada klub yang dipilihkan untuk Anda sedikit terguncang. Anda tahu bahwa Anda tak akan pernah berpaling, tapi akan ada hari di mana mustahil untuk tidak memberi sedikit ruang dalam hati bagi pencapaian istimewa.


Bagi saya hari itu adalah kemarin.

Orang yang paling tidak berperasaan sekalipun akan berdiri bulu kuduknya mendengar bagaimana sebelum kick off pertandingan, tribun timur Stadion Jakabaring yang dipenuhi puluhan ribu bobotoh memproklamirkan kepada langit bahwa Persib adalah jiwa raga mereka.

Langit mendengar dan di akhir pertandingan Persib juara.

***

Sembilan belas tahun adalah waktu yang lama. Waktu Persib bertemu Petrokimia Putra di final Liga Indonesia pertama tahun 1995, itu adalah pertama kalinya saya menonton sepak bola Indonesia di TV. Itu pun bukan karena direncanakan. Saat itu saya bahkan belum genap 8 tahun dan rumah kami sedang direnovasi sehingga ada bedeng sementara di depan rumah untuk menampung para tukang bangunan.

Jelang malam, para tukang bangunan tersebut meminta izin untuk bertemu dengan ibu. Ada kecemasan tergurat di wajah mereka. Dugaan pertama adalah mereka ingin meminjam uang atau ingin pulang lebih cepat ke kampung. Rupanya bukan lembaran rupiah yang mereka inginkan. Para tukang ini berasal dari Garut dan mereka bilang hari ini Persib main. Mereka minta agar diizinkan untuk memakai TV di ruang keluarga. Izin pun diberikan dan malam itu rumah kami riuh rendah ketika Sutiono mencetak gol kemenangan.

Baru dalam beberapa tahun belakangan saya sadar betapa tidak lazimnya peristiwa tersebut. Mengizinkan orang asing untuk masuk ke ruang keluarga dan menonton TV bersama bukanlah sesuatu yang sering dilakukan, apalagi jika orang asing tersebut adalah para pekerja pembangun rumah. Belum lagi soal ibu yang bukan penggemar sepak bola dan tak akan pernah mengerti apa itu offside.

Tapi saya teringat bahwa ibu lahir dan besar di Bandung sehingga ia cukup mengerti bagaimana bangganya warga kota tersebut terhadap klub sepakbola mereka. Ia tinggal cukup lama di Bandung untuk paham bagaimana kegelisahan para pekerja rumah kami jika mereka gagal menonton Persib hari itu.







Itu adalah interaksi pertama saya dengan fans sepakbola. Mereka yang memberanikan diri untuk “kurang ajar” demi kesempatan untuk menyaksikan tim kesayangan mereka bertanding. Tentu saja seiring waktu berjalan, saya belajar bagaimana fans sepak bola rela untuk melakukan banyak hal yang jauh lebih nekat daripada itu.

***
http://images.detik.com/albums/postmatch-bayern-dortmund/0fb6fb8b-4fed-4b75-9f46-8c507acbbeeb_169.jpg

Melihat suporter sepakbola menempuh perjalanan jauh untuk menyaksikan timnya bertanding selama 90 menit selalu membuat tengkuk bergidik. Satu momen yang tak akan pernah terlupakan terjadi ketika ribuan suporter Arema menyerbu Jakarta untuk pertandingan terakhir melawan Persija Jakarta di musim di mana Singo Edan dinobatkan sebagai juara. Suporter Malang memadati daerah Senayan dan sekitarnya. Mereka yang tak mendapatkan penginapan akan menempati ruang apa pun yang menyediakan tempat bagi mereka untuk bernaung.



Tatkala usai bermain basket di lapangan ABC Senayan pada Sabtu malam (sehari sebelum pertandingan), saya terkaget-kaget melihat pemandangan di depan kamar mandi. Seorang ibu tertidur sambil memeluk anaknya dengan hanya beralaskan kain yang memisahkan mereka dari lantai yang dingin. Sang ayah tak nampak, mungkin sedang pergi membeli makanan. Di tembok belakang ibu dan anak terbentang jelas alasan mereka berada di sana: bendera Arema. Saya masih mengutuki diri yang tidak membawa kamera saat itu untuk mengabadikan sebuah pemandangan yang selamanya akan melekat dalam sanubari.

Perpindahan massa dari satu kota ke kota lainnya hanya untuk menonton pertandingan sepak bola adalah sesuatu yang sulit dimengerti oleh mereka yang tidak berbagi kebahagiaan yang sama saat menonton olahraga ini. Mengapa ada orang yang mau repot-repot mengeluarkan uang dan mengalokasikan waktu untuk menyaksikan sesuatu yang bisa ditonton di televisi? Karena baik ecstasy atau agony, keduanya akan berlipat ganda rasanya di tribun stadion.

Maka terlepas dari bagaimana cara mencapai Palembang, entah lewat darat, laut, atau udara, suporter Persib tahu bahwa di akhir peluit panjang nanti mereka akan mendapatkan sesuatu yang luar biasa besar, entah kegembiraan atau kekecewaan. Entah mereka yang datang ke Palembang dengan Garuda atau Lion Air, dengan jet pribadi atau pesawat Hercules, mereka semua sama di masa sepak bola.

Salah satu orang yang mencapai Palembang naik Hercules adalah walikota Bandung, Ridwan Kamil yang kebetulan duduk di depan saya saat menyaksikan pertandingan semalam. Tentu saja saya telah mendengar banyak hal yang mengesankan mengenai pria yang akrab disapa Kang Emil ini, tapi momen ketika ia menanggalkan bajunya bersama dengan bobotoh Persib sebelum partai semifinal melawan Arema sebagai bentuk protes adalah sesuatu yang berada di level selanjutnya. Foto Ridwan Kamil bertelanjang dada bersama dengan para bobotoh saya kira adalah gambar monumental untuk mengilustrasikan seberapa jauh seorang pejabat publik bisa mendekat dan membaur bersama masyarakat.

Selama pertandingan, ia tak jarang berdiri, melompat, bernyanyi, mengepalkan tinju. Sebelum pertandingan dan saat turun minum, ia melayani permintaan foto bareng dan selfie tanpa henti. Tingkat afeksi yang tinggi dari fans Persib kepadanya tak mengagetkan karena ketika ia masuk ke tribun, para bobotoh bertepuk tangan dan meneriakkan namanya.

Perlakuan istimewa dari fans seperti ini tak terlihat ketika pejabat teras nomor satu di Jawa Barat memasuki tribun tak lama kemudian.

Sepakbola selalu menarik bagi politisi dan pejabat publik karena olahraga ini adalah daya tarik masa yang luar biasa besar. Tak sedikit pejabat pemerintah yang berupaya untuk mendekatkan diri mereka dengan sepakbola dan suporternya, namun sayangnya tak banyak yang melakukannya dengan benar. Apa yang saya lihat semalam di tribun VVIP adalah bukti tingkat afeksi macam apa yang bisa didapatkan jika pejabat publik tersebut melakukannya dengan tulus.

***

Ronal Surapradja berteriak histeris di sebelah saya ketika penalti terakhir dari Achmad Jufriyanto memastikan Persib jadi kampiun. Tak beberapa kemudian, ia sedikit tercekat. Terharu dan mungkin meneteskan air mata. Di sebelahnya, Omesh juga melampiaskan kegembiraan sambil melompat. Mereka berdua termasuk dalam puluhan ribu bobotoh yang mengguncang bumi Sriwijaya ketika Persib dinyatakan menyudahi puasa gelar selama hampir 2 dekade. Saya tak bisa banyak bicara selain turut merasakan kebahagiaan mereka.

Liga Indonesia tak pernah mulus jalannya dan selalu penuh kerikil, tapi ini adalah sebuah season finale yang megah. Ini adalah sebuah pamungkas yang akan membuat fans klub lain bertutur dalam hati, "Tahun depan giliran kami."

Saya tersenyum getir memikirkan hal tadi dan hanya bisa bergumam lirih, "Ribak!"
http://images.detik.com/albums/postmatch-bayern-dortmund/d3e8ca3f-ccfc-4be7-8525-b4ccf3d288da_169.jpg

====

*Penulis adalah satiris dan penulis sepakbola, presenter BeIn Sports Indonesia. Bisa dihubungi melalui akun twitter @pangeransiahaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar