Malam Terang di Jakabaring
Pangeran
Siahaan -
detikSport
Sabtu,
08/11/2014 14:34 WIB
CNN Indonesia/Adhi Wicaksono
Seandainya
bapak saya tidak mengisahkan kejayaan PSMS waktu kecil, saya sudah membaptis
diri sendiri menjadi fan Persib Bandung semalam. Anda tahu bahwa Anda sejak
menyaksikan sesuatu yang luar biasa di lapangan sepak bola ketika yang tidak
ada yang Anda rasakan selain berharap kosong bahwa tim yang sedang mendapatkan
dukungan militan dari puluhan ribu suporternya yang menyeberang pulau itu
adalah tim Anda.
Kecintaan kepada klub sepakbola adalah sesuatu yang tribal dan tak bisa
ditawarkan. Konsensus umum mengatakan bahwa Anda tidak memilih klub Anda, tapi
tetapi klub tersebut memilih Anda. Tidak semua orang menerima konsep takdir,
tapi sulit untuk membantah anggapan bahwa ada tangan tak terlihat yang sudah
memilihkan klub untuk anda sebelum Anda lahir. Tapi pada hari-hari tertentu,
Anda bisa dimaafkan jika kesetiaan anda kepada klub yang dipilihkan untuk Anda
sedikit terguncang. Anda tahu bahwa Anda tak akan pernah berpaling, tapi akan
ada hari di mana mustahil untuk tidak memberi sedikit ruang dalam hati bagi
pencapaian istimewa.
Bagi saya hari itu adalah kemarin.
Orang yang paling tidak berperasaan sekalipun akan berdiri bulu kuduknya
mendengar bagaimana sebelum kick off pertandingan, tribun timur Stadion
Jakabaring yang dipenuhi puluhan ribu bobotoh memproklamirkan kepada langit
bahwa Persib adalah jiwa raga mereka.
Langit mendengar dan di akhir pertandingan Persib juara.
Sembilan belas tahun adalah waktu yang lama. Waktu Persib bertemu Petrokimia
Putra di final Liga Indonesia pertama tahun 1995, itu adalah pertama kalinya
saya menonton sepak bola Indonesia di TV. Itu pun bukan karena direncanakan.
Saat itu saya bahkan belum genap 8 tahun dan rumah kami sedang direnovasi
sehingga ada bedeng sementara di depan rumah untuk menampung para tukang
bangunan.
Jelang malam, para tukang bangunan tersebut meminta izin untuk bertemu dengan
ibu. Ada kecemasan tergurat di wajah mereka. Dugaan pertama adalah mereka ingin
meminjam uang atau ingin pulang lebih cepat ke kampung. Rupanya bukan lembaran
rupiah yang mereka inginkan. Para tukang ini berasal dari Garut dan mereka
bilang hari ini Persib main. Mereka minta agar diizinkan untuk memakai TV di
ruang keluarga. Izin pun diberikan dan malam itu rumah kami riuh rendah ketika
Sutiono mencetak gol kemenangan.
Baru dalam beberapa tahun belakangan saya sadar betapa tidak lazimnya peristiwa
tersebut. Mengizinkan orang asing untuk masuk ke ruang keluarga dan menonton TV
bersama bukanlah sesuatu yang sering dilakukan, apalagi jika orang asing
tersebut adalah para pekerja pembangun rumah. Belum lagi soal ibu yang bukan
penggemar sepak bola dan tak akan pernah mengerti apa itu offside.
Tapi saya teringat bahwa ibu lahir dan besar di Bandung sehingga ia cukup
mengerti bagaimana bangganya warga kota tersebut terhadap klub sepakbola
mereka. Ia tinggal cukup lama di Bandung untuk paham bagaimana kegelisahan para
pekerja rumah kami jika mereka gagal menonton Persib hari itu.
Itu adalah interaksi pertama saya dengan fans
sepakbola. Mereka yang memberanikan diri untuk “kurang ajar” demi kesempatan
untuk menyaksikan tim kesayangan mereka bertanding. Tentu saja seiring waktu
berjalan, saya belajar bagaimana fans sepak bola rela untuk melakukan banyak
hal yang jauh lebih nekat daripada itu.
***
Melihat suporter sepakbola menempuh perjalanan jauh untuk menyaksikan timnya
bertanding selama 90 menit selalu membuat tengkuk bergidik. Satu momen yang tak
akan pernah terlupakan terjadi ketika ribuan suporter Arema menyerbu Jakarta
untuk pertandingan terakhir melawan Persija Jakarta di musim di mana Singo Edan
dinobatkan sebagai juara. Suporter Malang memadati daerah Senayan dan
sekitarnya. Mereka yang tak mendapatkan penginapan akan menempati ruang apa pun
yang menyediakan tempat bagi mereka untuk bernaung.
Tatkala usai bermain basket di lapangan ABC Senayan pada Sabtu malam (sehari
sebelum pertandingan), saya terkaget-kaget melihat pemandangan di depan kamar
mandi. Seorang ibu tertidur sambil memeluk anaknya dengan hanya beralaskan kain
yang memisahkan mereka dari lantai yang dingin. Sang ayah tak nampak, mungkin
sedang pergi membeli makanan. Di tembok belakang ibu dan anak terbentang jelas
alasan mereka berada di sana: bendera Arema. Saya masih mengutuki diri yang
tidak membawa kamera saat itu untuk mengabadikan sebuah pemandangan yang
selamanya akan melekat dalam sanubari.
Perpindahan massa dari satu kota ke kota lainnya hanya untuk menonton pertandingan
sepak bola adalah sesuatu yang sulit dimengerti oleh mereka yang tidak berbagi
kebahagiaan yang sama saat menonton olahraga ini. Mengapa ada orang yang mau
repot-repot mengeluarkan uang dan mengalokasikan waktu untuk menyaksikan
sesuatu yang bisa ditonton di televisi? Karena baik ecstasy
atau agony, keduanya akan berlipat ganda
rasanya di tribun stadion.
Maka terlepas dari bagaimana cara mencapai Palembang, entah lewat darat, laut,
atau udara, suporter Persib tahu bahwa di akhir peluit panjang nanti mereka
akan mendapatkan sesuatu yang luar biasa besar, entah kegembiraan atau
kekecewaan. Entah mereka yang datang ke Palembang dengan Garuda atau Lion Air,
dengan jet pribadi atau pesawat Hercules, mereka semua sama di masa sepak bola.
Salah satu orang yang mencapai Palembang naik Hercules adalah walikota Bandung,
Ridwan Kamil yang kebetulan duduk di depan saya saat menyaksikan pertandingan
semalam. Tentu saja saya telah mendengar banyak hal yang mengesankan mengenai
pria yang akrab disapa Kang Emil ini, tapi momen ketika ia menanggalkan bajunya
bersama dengan bobotoh Persib sebelum partai semifinal melawan Arema sebagai
bentuk protes adalah sesuatu yang berada di level selanjutnya. Foto Ridwan
Kamil bertelanjang dada bersama dengan para bobotoh saya kira adalah gambar
monumental untuk mengilustrasikan seberapa jauh seorang pejabat publik bisa
mendekat dan membaur bersama masyarakat.
Selama pertandingan, ia tak jarang berdiri, melompat, bernyanyi, mengepalkan
tinju. Sebelum pertandingan dan saat turun minum, ia melayani permintaan foto
bareng dan selfie tanpa henti. Tingkat afeksi yang tinggi dari fans Persib
kepadanya tak mengagetkan karena ketika ia masuk ke tribun, para bobotoh
bertepuk tangan dan meneriakkan namanya.
Perlakuan istimewa dari fans seperti ini tak terlihat ketika pejabat teras
nomor satu di Jawa Barat memasuki tribun tak lama kemudian.
Sepakbola selalu menarik bagi politisi dan pejabat publik karena olahraga ini
adalah daya tarik masa yang luar biasa besar. Tak sedikit pejabat pemerintah yang
berupaya untuk mendekatkan diri mereka dengan sepakbola dan suporternya, namun
sayangnya tak banyak yang melakukannya dengan benar. Apa yang saya lihat
semalam di tribun VVIP adalah bukti tingkat afeksi macam apa yang bisa
didapatkan jika pejabat publik tersebut melakukannya dengan tulus.
***
Ronal Surapradja berteriak histeris di sebelah saya ketika penalti terakhir
dari Achmad Jufriyanto memastikan Persib jadi kampiun. Tak beberapa kemudian,
ia sedikit tercekat. Terharu dan mungkin meneteskan air mata. Di sebelahnya,
Omesh juga melampiaskan kegembiraan sambil melompat. Mereka berdua termasuk
dalam puluhan ribu bobotoh yang mengguncang bumi Sriwijaya ketika Persib
dinyatakan menyudahi puasa gelar selama hampir 2 dekade. Saya tak bisa banyak
bicara selain turut merasakan kebahagiaan mereka.
Liga Indonesia tak pernah mulus jalannya dan selalu penuh kerikil, tapi ini
adalah sebuah season finale yang megah. Ini
adalah sebuah pamungkas yang akan membuat fans klub lain bertutur dalam hati,
"Tahun depan giliran kami."
Saya tersenyum getir memikirkan hal tadi dan hanya bisa bergumam lirih,
"Ribak!"
====
*Penulis adalah satiris dan penulis sepakbola, presenter BeIn Sports Indonesia. Bisa dihubungi melalui akun twitter @pangeransiahaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar