Senin, 04 Juni 2018

Penggunaan Tulang Babi Sebagai Karbon Aktif dalam Filter Air Minum dari Sudut Pandang Islam


Penulis : Dr. Jenuri, S.Ag, M.Pd
               Dary Amran Yardiansyah
               Farras Destariansyah
               Muhammad Irfan Fakhruddin


Dalam konteks Indonesia bahkan dunia dewasa ini, persoalan konsumsi halal masih menjadi problem yang hangat dan aktual. Banyaknya tuntutan masyarakat tentang kejelasan status kehalalan suatu produk menjadikan banyak negara, lembaga dan ilmuwan kembali serius memperhatikan persoalan konsumsi halal. Oleh karena itu penelitian ini ingin melihat kembali permasalahan dan konsep yang mendasar yang dikemukakan al-Qur’an tentang konsumsi, dan hal-hal yang menjadi kriterianya. Penelitian ini di bagi kepada tiga bagian. Bagian pertama betujuan untuk menemukan defenisi ‘halal’ dan ‘haram’ sebagaimana yang diisyaratkan Al-Qur’an. Bagian kedua, mendiskusikan hal-hal yang berkaitan dengan konsumsi; terma konsumsi dalam Islam, sifat dan prinsip konsumsi dalam Islam. Bagian ketiga mengemukakan penetapan halal dan haram dalam hal konsumsi. Langkah-langkah yang ditempuh dalam tiap bagian dari penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Untuk menemukan defenisi ‘halal’ dan ‘haram’ yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an maka dilakukan penelitian dengan metode mauḍū`i. Terma-terma halal dan haram dan derivasinya dalam Al-Qur’an diteliti berdasarkan makna akar kata dan konteksnya di dalam ayat. Untuk mendapatkan makna yang berkaitan dengan konsumsi maka makna-makna halal dan haram yang dikumpulkan kemudian diperkecil kelompoknya berdasarkan konteks konsumsi. Langkah-langkah yang ditempuh adalah dengan melakukan penelitian atau studi pustaka, mengumpulkan data bagaimana sebenarnya konsep konsumsi dalam Islam. Akhirnya ditemukan satu kesimpulan tentang makna yang diisyaratkan al-Qur’an. Bagian ketiga, menemukan bagaimana penetapan ‘halal’ dan ‘haram’ dalam hal konsumsi. Al-Qur’an menjelaskan konsep-konsep halal dan haram dalam hal konsumsi pada dasarnya mengandung nilai-nilai kemuliaan bagi manusia. Halal dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kemuliaan bagi manusia. Haram dimaksudkan untuk melindungi manusia dari hal-hal yang dapat membahayakan dan merendahkan manusia dan fungsi kemanusiaannya. Islam memandang bahwa konsumsi adalah suatu kegiatan menghabiskan barang dan jasa dalam upaya memenuhi kebutuhan, keinginan dan kepuasan pelaku konsumsi yang didasari oleh kesadaran bahwa kegiatan tersebut dilaksanakan dalam kerangka ridha Allah dan untuk mencapai keridhaan Allah. Dalam Al-Qur’an, aktivitas konsumsi diungkapkan dengan istilah-istilah akala-ya’kulu, syariba-yasyrabu, akhaza-ya’khuzu, nafaqa – yanfiqu. Dari istilah-istilah ini disimpulkan ruang lingkup konsumsi mencakup lima kategori. Pertama, halal dari aspek bendanya, yang mencakup konsumsi yang berasala dari nabati, hewani, dan konsumsi olahan. Kedua, halal dari segi cara memperoleh sumber dan anggarannya. Ketiga, halal dari aspek pengeluaran/ penggunaannya. Keempat, kategori halal dari proses dan pengolahannya. Kelima, thayyib dari pola konsumsinya, meliputi pola konsumsi dari segi jumlah, waktu, tata cara konsumsi dan dari segi kondisi pelaku konsumsi sendiri harus thayyib atau baik bagi keadaan pelaku konsumsi tersebut.
Masalah halal dan haram begitu sentral dalam pandangan kaum muslimin, hal ini karena ia merupakan batas antara yang hak dan yang batil, atau lebih jauh antara surga dan neraka. Halal dan haram akan selalu dihadapi oleh kaum muslimin detik-demi-detik dalam rentang kehidupannya. Sehingga menandakan bepata pentingnya kita mengetahui secara rinci batas antara apa yang halal dan apa yang haram. Mengetahui persoalan halal-haram ini kelihatan mudah sepintas, tetapi kemudian menjadi sangat sukar ketika berhadapan dengan kehidupan keseharian, yang kadang menjadi kabur, sulit membedakan mana yang halal dan mana yang haram, atau bahkan menjadi syubhat, karena tidak termasuk keduanya, atau karena percampuran keduanya. Hujjatul Islam Imam Abul Hamid al-Ghazali, sebagai pakar yang menghidup-hidupkan ilmu agama Islam telah memberikan uraian yang jelas tentang persoalan halal dan haram ini dengan seksama dalam magnum opusnya Ihya’ ‘ulum al-Din, yang telah disarikan oleh beberapa pakar termasuk kitab Mau’idhah al-Mukminin min Ihya’ ‘Ulum al-Din oleh Syekhul Islam Jalaluddin al-Qasimi
Penetapan halal dan haram dalam hal yang berkaitan dengan konsumsi dikategorikan kepada beberapa hal yaitu pertama, penetapan dengan berpedoman pada penggunaan kata halal dan haram yang disebutkan dalam ayat-ayat al-Qur‟an. Kedua, penetapan berdasarkan shighat perintah dan larangan. Ketiga, penetapan berdasarkan kepada kriteria atau sifat konsumsi. Penentuan halal dan haram bersumber dari al-Qur‟an, hadis, ijma‟ ulama, Qiyas dan Qaulushahabi yang semuanya diatur dalam Fiqh.1 Penentuan halal dan haram dapat dilihat dari beberapa hal. Dasar pertama yang ditetapkan Islam adalah bahwa asal sesuatu yang diciptakan Allah adalah halal dan mubah. Oleh karena itu, dalam penetapan kehalalan sesuatu selain adanya petunjuk kehalalannya, segala sesuatu yang tidak ada nash yang menunjukan larangan atau indikator yang mendekati larangan tersebut ditetapkan dengan hukum asalnya yaitu mubah dan halal
 “Asal segala sesuatu adalah mubah (boleh) sampai ada yang dalil yang mengharamkannya.” Berdasarkan prinsip tersebut juga bahwa hukum asal dari segala sesuatu adalah mubah/boleh selama tidak ada larangan yang menjelaskannya, maka tidak ada 1 Departemen Agama RI, Tanya Jawab Sekitar Produksi Halal (Jakarta: Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003), h. 1. 240 satupun yang haram, kecuali karena ada nash yang sah dan tegas dari syar`i (yang berwenang membuat hukum itu sendiri ialah Allah dan Rasul).2 Oleh karena itu, penetapan keharaman sesuatu adalah karena adanya dalil/nash yang mengharamkannya. Namun selain penyebutan keharaman sesuatu secara jelas dan tegas berdasarkan dalil, keharaman sesuatu juga dapat ditetapkan melalui kriteria-kriteria yang disebutkan oleh dalil atau nas. Selain ciri umum di atas penetapan kehalalan dan keharaman sesuatu dapat dilihat dari hal-hal berikut. A. Penentuan dengan Penggunaan Kata Halal dan Haram atau yang seakar dan sinonim dengannya. Secara khusus di dalam al-Qur‟an Allah juga menyatakan secara tegas kehalalan sesuatu dengan menyebutkan kata halal atau yang seakar dengannya atau yang sinonim dengannya. Kata-kata halal atau yang seakar antara lain; uhillat, yuhillu, dan lain-lain. Kata yang sinonim juga termasuk pada kategori ini. Kata yang sinonim dengan kata halal yaitu kata ṭayyib sebagaimana sebagaimana dikemukakan Imam Syaukani yang dimaksud dengan ṭayyib adalah halal.
Babi adalah sejenis hewan ungulate yang bermoncong panjang dan berhidung lemper dan merupakan hewan yang berasal dari Eurasia yang kadang juga dirujuk sebagai khinzir. Memiliki berat 250-350 kg dan tinggi 75-92 cm.
          Dalam islam babi merupakan hewan yang diharamkan untuk dikonsumsi. Pada kenyataan babi merupakan hewan yang jorok. Babi adalah hewan yang kerakusannya dalam makan tidak tertandingi hewan lain. Ia makan semua makanan yang ada di depannya. Jika perutnya telah penuh atau makanannya telah habis, ia akan memuntahkan isi perutnya dan memakannya lagi, untuk memuaskan kerakusannya. Ia tidak akan berhenti makan, bahkan memakan muntahannya. Ia memakan semua yang bisa dimakan di hadapannya. Memakan kotoran apa pun di depannya, entah kotoran manusia, hewan atau tumbuhan, bahkan memakan kotorannya sendiri, hingga tidak ada lagi yang bisa dimakan di hadapannya. Kadang ia mengencingi kotorannya dan memakannya jika berada di hadapannya, kemudian memakannya kembali. Ia memakan sampah busuk dan kotoran hewan. Babi adalah hewan mamalia satu-satunya yang memakan tanah, memakannya dalam jumlah besar dan dalam waktu lama jika dibiarkan. Kulit orang yang memakan babi akan mengeluarkan bau yang tidak sedap.
          Babi juga tidak memiliki leher. Itu artinya babi tidak dapat disembelih layaknya hewan lainnya. Penyembelihan hewan dileher bertujuan untuk mematikan hewan dengan membuatnya kehabisan darah bukan karena kerusakan organ atau yang lain. Sebagaimana yang kita tahu dalam islam darah adalah hal yang juga haram untuk dikonsumsi. Menurut kedokteran darah mengandung banyak sekali racun dalam tubuh. Jadi dengan menyembelih hewan, darah yang ada pada hewan tersebut akan keluar dan tidak mencemari daging. Sementara pada babi yang tidak memiliki leher,  lmu kedokteran mengatakan bahwa babi merupakan inang dari banyak macam parasit dan penyakit berbahaya, sistem biochemistry babi mengeluarkan hanya 2% dari seluruh kandungan uric acidnya, sedangkan 98% sisanya tersimpan dalam tubuhnya atau daging. Itu artinya mengonsumsi daging babi sama halnya dengan memakan berbagai parasit dan memasukkan kuman dalam tubuh.
          Selain itu daging babi sendiri adalah daging yang sangat sulit dicerna karena banyak mengandung lemak. Meskipun empuk dan terlihat begitu enak dan lezat, namun daging babi sulit dicerna. Ibaratnya racun, seperti halnya cholesterol. Selain itu, daging babi menyebabkan banyak penyakit : pengerasan pada urat nadi, naiknya tekanan darah, nyeri dada yang mencekam (angina pectoris) , dan radang pada sendi-sendi.
          Pemanfaatan babi hukumnya haram, baik atas daging, lemak, maupun bagian-bagian lainnya. Firman Allah SWT dalam QS.5:3 mengharamkan konsumsi bangkai, darah, dan daging babi. Demikian juga dengan firman-Nya dalam QS.6:145 dan QS.16.115, mengharamkan konsumsi bangkai, darah, dan daging babi. Dalil-dalil pada beberapa ayat ini merupakan nash yang jelas, yang menegaskan tentang keharaman, antara lain mengkonsumsi babi. Al-Qur’an menggunakan kata lakhma (daging) karena sebagian besar pengambilan manfaat dari babi adalah daging. Selain itu, dalam daging babi selalu terdapat lemak.
Kendati Al-Qur’an menggunakan kata lakhma, pengharaman babi bukan hanya dagingnya. Tetapi seluruh tubuh hewan babi. Pandangan ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh: min dzikri’l-juz I wa iradati’l kulli. Artinya yang disebutkan sebagian dan dikehendaki seluruhnya.Bahwa daging babi mengandung cacing pita (taenia solium), hampir semua orang sudah mengenalnya. Ternyata tidak hanya itu bahaya yang mengancam pemakan babi. Lemak babi mengandung kolesterol paling tinggi dibandingkan dengan lemak hewan lainnya. Darahnya mengandung asam urat paling tinggi. Asam urat merupakan bahan yang jika terdapat dalam darah dapat menimbulkan berbagai penyakit pada manusia. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa sedikitnya 70 jenis penyakit yang lazim diidap hewan babi dan beberapa diantaranya dapat ditularkan manusia yang memakannya.
Hikmah diharamkannya daging babi, terutama keberadaan cacing pita, seringkali disanggah oleh para ahli kesehatan modern. Mereka mengatakan bahwa cacing tersebut mudah dihilangkan bahkan dengan teknik pemasakan yang paling sederhana. Pandangan ini sungguh menyesatkan karena babi itu sendiri menjijikkan bagi orang yang bersih jiwanya. Allah SWT mengharamkan sejak masa silam untuk waktu yang lama agar manusia mengetahui. Manusia kini baru mengenal sedikit bahayanya, yakni cacing pita, namun demikian jauh sebelum itu Allah SWT telah mengharamkannya. Mungkin sekarang orang menganggap bahwa peralatan masak modern telah mengalami kemajuan, sehingga ada asumsi kalau daging babi tidak lagi membahayakan dan bukan merupakan sumber ancaman bagi manusia. Dengan teknologi pengolahan makanan dan teknik pemanasan yang canggih, bahaya itu sudah bisa dihilangkan.
Mereka lupa bahwa untuk mengatasi bahaya cacing pita saja telah memakan waktu berabad-abad. Itu hanya untuk mengungkap satu penyakit saja. Siapa yang dapat menjamin bahwa di luar penyakit itu sudah tidak ada lagi bahaya yang terkandung dalam daging babi. Apakah tidak selayaknya syari’at yang jauh lebih mendahului kemajuan pengetahuan manusia puluhan abad yang lalu kita percayai sepenuhnya? Semua keputusan diserahkan pada syari’at. Kita menghalalkan apa yang dibolehkan dan menghindari apa yang dilarang. Syariat ini adalah dari Allah Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui bentuk dan karakteristik segala makhluk-Nya.
Lemak babi sendiri mengandung bahan untuk bangunan. Daging Babi mempunyai sedikit otot (lemak) yang mengandung bahan untuk bangunan dan kelebihan lemak. Lemak ini mengendap di tubuh dan dapat menyebabkan hipertensi dan serangan jantung. Tidak mengherankan bahwa lebih dari 50% dari Amerika menderita hipertensi. Tabel berikut akan menjelaskan kadar lemak yang terdapat dalam daging babi dan hewan lainnya:
·       Babi gemuk 91%, Kambing gemuk 56%, Sapi gemuk 35%
·       Babi sedang 60%, Kambing sedang 29%, Sapi sedang 20%
·       Babi kurus 29%, Kambing kurus 14%, Sapi kurus 6%
Selain itu jika dibiarkan berada di udara terbuka maka daging yang pertama kali busuk adalah daging babi, diikuti daging domba dan yang terakhir adalah daging sapi. Akan tetapi apabila daging-daging tersebut dimasak, maka yang paling lambat masaknya adalah daging babi.Dari hasil penelitian juga diperoleh kesimpulan bahwa daging kambing dan daging sapi berada dalam lambung selama 3 jam proses pencernaan sempurna, sementara daging babi bisa berada dalam lambung selama 5 jam hanya untuk memperoleh hasil pencernaan yang sempurna.
 Sebuah artikel yang mengatakan : ”Bahwa seseorang itu berkelakuan sesuai dengan apa yang dimakannya.” Melihat tayangan di salah satu TV swasta, seorang profesor dari IPB (lupa namanya) telah meneliti struktur DNA babi. Sesuatu yang mengejutkan ternyata, struktur gen babi itu mirip dengan struktur gen manusia. Jadi dapat dikatakan gen babi sama dengan gen manusia, jadi apabila kita memakan babi sama halnya kita memakan daging manusia atau kanibal. Jadi bukan tidak mungkin jika sifat babi bisa menular pada diri para konsumennya.
Yang paling banyak kegunaannya adalah dari tulang babi, selain jarang terdeteksi oleh mata kita secara langsung dari tulang babi biasanya sudah dijadikan gelatin yang penggunaannya untuk membuat kapsul, jelly, puding, jam, selai, permen dan marsmallow. Fungsi Tulang yang umum adalah dipakai dalam campuran untuk kuah bakso dan mengambil kalsium untuk dimasukkan ke dalam susu, minuman dan pasta gigi. Sedangkan tulang babi sering juga dipakai sebagai karbon aktif (bahan penjernih air yang dipakai pada industri penjernihan minuman isi ulang). Yang sedikit terlupakan gelatin yang terbuat dari tulang babi biasanya dipergunakan untuk membuat stabilizer yang dipergunakan untuk membuat juice, syrup dan margarine sedangkan gelatin yang dipakai untuk pelembut yang dipergunakan untuk membuat  cake dan biskuit. Emulsifier yang dihasilkan dari gelatin biasanya dipakai pada pembuatan yoghurt, es krim dan mentega. Memang, pada industri makanan dan obat-obatan, utamanya, bahan karbon aktif dipergunakan sebagai penyaring cairan, menyerap dan menghilangkan warna, bau dan rasa yang tidak enak. Bahan baku karbon atau arang aktif dapat berasal dari bahan nabati seperti kayu dan tempurung kelapa yang diolah menjadi arang. Dan dapat juga berasal dari bahan hewani, terutama tulang hewan yang diolah menjadi arang. 
“Kalau berasal dari tulang hewan, maka bahan karbon aktif ini harus dicermati dan diteliti dalam proses sertifikasi halal, jangan sampai menggunakan bahan yang berasal dari tulang babi,” tuturnya wanti-wanti mengingatkan. Pemanfaatan tulang babi menjadi karbon aktif, tambanhnya pula, banyak dilakukan kalangan industri terutama di Eropa. Karena ketersediaan bahan dari tulang babi ini relatif berlimpah dengan harga yang murah.

Memanfaatkan Limbah Babi
            Mengapa mereka menggunakan bahan karbon aktif itu dari tulang babi? Sebagai jawabnya, karena secara ekonomis, bahan tulang babi di sana sangat berlimpah, sebagai limbah atau sampah, produk samping dari rumah pemotongan hewan (babi) industri daging babi. Di negeri-negeri itu, dari pada limbah itu dibuang menjadi masalah, tentu lebih baik kalau bisa dimanfaatkan menjadi bahan yang bernilai ekonomi. 
Selain itu, di kawasan Eropa, tempurung kelapa atau kayu juga sulit didapat, suplainya sangat terbatas, dan dengan harga yang cukup tinggi. Sehingga dari sisi ekonomi tentu sangat mereka perhitungkan. Sementara tulang babi tersedia melimpah, dan dengan harga yang murah. Tentu ini menjadi sangat menggiurkan. Apalagi bagi mereka relatif tidak ada pertimbangan halal-haram dengan kaidah agama seperti yang kita yakini. 

Tidak Boleh Ada Intifa’
Para ulama di Komisi Fatwa (KF) MUI, jelasnya pula, telah menetapkan fatwa, tidak boleh ada Intifa’ atau pemanfaatan bahan dari babi dalam proses produksi dan pengolahan produk pangan. Maka proses sertifikasi halal yang dilakukan oleh LPPOM MUI dan penetapan fatwa halal oleh KF MUI merupakan satu usaha untuk memastikan bahan-bahan dan proses yang dilakukan dalam produksi pangan, obat-obatan dan kosmetika benar-benar tidak mengandung unsur yang haram menurut syariah. 
Sedangkan bagi pihak perusahaan, landasan untuk menjamin produksi yang halal ini, menurutnya lagi, adalah dengan memahami dan mengimplementasikan Sistim Jaminan Halal yang konsisten. Dengan demikian, SJH dengan pelatihan yang diselenggarakan oleh LPPOM MUI ini merupakan bagian dari upaya menjamin produksi halal yang sangat dibutuhkan masyarakat. (Usm).
Di Televisi  masih jarang tersiar penjelasan tentang ketidak halalan air dalam kemasan, kalau boleh dikatan malah nyaris tak pernah. Mencoba menjelaskan mengapa menjadi tidak halalnya air minum dalam kemasan atau air isi ulang,  salah satu faktor penyebab utamannya adalah filter yang terpasang, apakah dari bahan yang tidak halal. Masyarakat awam tidak mengerti atau mungkin kurang mengerti apa-apa saj isi dari filter penyaring air itu, salah satunya arang aktif. Arang aktif  ada yang terbuat  dari tulang hewan, seperti dari hewan babi atau sapi, kalau pun dari sapi misalnya,  cara pemotongan sapi (ternak) yang  tidak halal tidak menurut syariat Islam produk yang dihasilkannya menjadi tidak halal. Sebagai orang awam tidak  terbayangkan oleh mereka bagaimana proses tulang hewan bisa menjadi filter (arang aktif). Tulang hewan (sapi, babi) bukan hanya digunakan untuk filter air isi ulang saja malah tulang tulang ini adalah bahan baku untuk pembuat  foam (busa) yang paling baik dan efektif untuk memadamkan kebakaran, contoh untuk memadamkan api pada pesawat terbang yang terbakar,  adalah menggunakan busa (foam) dari tulang hewan itu, diproses sedemikian rupa sehingga expansinya cukup baik untuk memutus mata rantai segitiga api.

Filter dari tulang hewan
Jika salah satu filter untuk menyaring air itu terbuat dari tulang hewan kemudian  air yang mengalir melalui filter (berisi arang aktif yang terbuat dari tulang yang tidak halal)  menjadi kan air  tidak halal.
Disamping filter tentunya ada lagi yang mempengaruhi ketidak halalan air dalam kemasan, seperti alat anggkutnya, tempatnya atau wadahnya dan lain-lain. tetapi faktor filter adalah yang dominan. Pengganti arang aktif ini banyak juga di gunakan dari arang tempurung kelapa.



E. Regulasi Halal
Jika dicermati, persoalan ketentuan produk halal sudah cukup  lama ada di negara kita. Dalam PP No. 69 tahun 1999 pasal 1, pangan halal adalah pangan yang tidak mengandung unsur atau bahan yang haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam, baik menyangkut bahan baku pangan, bahan bantu dan bahan penolong lainnya termasuk bahan pangan yang diolah melalui proses rekayasa genetika dan irradiasi pangan dan pengelolaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum agama Islam. Keputusan bersama Menkes dan Menag No.427/ me.kes/VIII/1985 dan No. 68 tahun 1985 pasal 1 menyebut makanan yang halal adalah semua jenis makanan yang tidak mengandung unsur atau bahan yang terlarang/haram dan atau diolah/diproses menurut agama Islam.
Secara internasional, aturan produk halal sudah diatur dalam Halal-Codex GENERAL GUIDELINES FOR USE OF THE TERM “HALAL”CAC/GL 24-1997. Sementara di Indonesia, jika dicermati, regulasi produk halal secara jelas telah diatur.  Berikut ini sembilan peraturan terkait pangan halal di Indonesia sekaligus penjelasan aturan detailnya:
1. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 280/Menkes/Per/ XI/1976 tentang Ketentuan Peredaran dan Penandaan pada Makanan yang mengandung Bahan berasal dari Babi. Pasal 2 mengatur:
a) Pada wadah atau bungkus makanan yang diproduksi di dalam negeri maupun yang berasal dari impor yang mengandung bahan yang berasal dari babi harus dicantumkan tanda peringatan.
b) Tanda peringatan tersebut yang dimaksud pada ayat (1) harus berupa gambar babi dan tulisan yang berbunyi : “MENGANDUNG BABI” dan harus ditulis dengan huruf besar berwarna merah dengan ukuran sekurangkurangnya Universe Medium Corps 12, di dalam garis kotak persegi yang juga berwarna merah.

2. Permenkes RI No. 76/Menkes/Per/III/78 tentang label dan Periklanan Makanan, pasal 2 menyatakan bahwa: Kalimat, kata-kata, tanda lambang, logo, gambar dan sebagainya yang terdapat pada label atau iklan harus sesuai dengan asal, sifat, komposisi, mutu dan kegunaan makanan.

3. Surat Keputusan Bersama antara Menteri Agama dan Menteri  Kesehatan No. 427/Menkes/SKB/VIII/1985 dan No. 68/1985 tentang Pencantuman Tulisan “Halal” pada Label Makanan.
Pasal 1 :
Tulisan “halal” adalah tulisan yang dicantumkan pada label/ penandaan yang memberikan jaminan tentang halalnya makanan tersebut bagi pemeluk agama Islam
Pasal 2 :
Produsen yang mencantumkan tulisan “halal” pada label atau  penandaan makanan produknya bertanggungjawab terhadap halalnya makanan tersebut bagi pemeluk agama Islam.
Pasal 4 :
a. Pengawasan preventif terhadap ketentuan pasal 2 Keputusan  Bersama ini dilakukan oleh Tim Penilaian Pendaftaran Makanan Departemen Kesehatan RI, cq. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.
b. Dalam tim penilaian pendaftaran makanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, diikutsertakan unsur Departemen Agama RI.
c. Pengawasan di lapangan terhadap pelaksanaan ketentuan pasal 2 Keputusan Bersama ini dilakukan oleh aparat Departemen Kesehatan RI.

4. UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 214 ayat (2) penjelasan butir (d) : Ketentuan lainnya misalnya pencantuman kata atau tanda halal yang menjamin bahwa makanan dan minuman yang dimaksud diproduksi dan diproses sesuai dengan persyaratan makanan.

5. UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, pasal (34) ayat (1) :
Setiap orang yang menyatakan dalam label atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan tertentu bertanggung jawab atas kebenaran peryataan berdasarkan persyaratan agama atau kepercayaan tersebut.

Dalam kasus air minum hasil filtrasi yang diduga alat filtrasinya tersusun atas karbon aktif dari tulang babi ini, dapat dikategorikan bahwa alat yang menggunakan filter dari karbonaktif untuk menyaring air tanah yang dijadikan menjadi air minum menghasilkan sifat air minum yang syubhat jika dalam informasi alat tersebut tidak mencantumkan bahan-bahan penyusun karbonaktif yang digunakan atau tidak terdapat logo legalitas kehalalan suatu produk.
Makanan atau minuman yang syubhat artinya makanan/minuman tersebut sifatnya meragukan, tidak jelas dasar hukumnya, serta masih menjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama’. Menyikapi makanan/minuman seperti ini, hendaknya seorang Muslim menjauhinya atau lebih baik ditinggalkan, karena mendekati perkara-perkara yang syubhat lebih dekat pada hal yang diharamkan. Pada hadits, sebagian Ulama berpendapat bahwa hal semacam itu haram hukumnya berdasarkan sabda Rasulullah, “siapa menjaga dirinya dari yang samar-samar itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya”. Siapa yang tidak menyelamatkan agama dan kehormatannya, berarti dia telah terjerumus kedalam perbuatan haram. Rasulullah SAW bersabda :
“Dari Al-Husain bin Ali r.a ia berkata : Saya selalu ingat pada sabda Rasulullah Saw, yaitu: Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu dan kerjakanlah sesuatu yang tidak meragukanmu. (Riwayat Tirmizy)

Namun jika seseorang ingin memastikan suatu hukum syari dari suatu permasalahan yang masih samar-samar sifat kehalalan  atau keharamannya, maka hendaklah ia berijtihad. Ijtihad berasal dari kata jahada. Artinya mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban kesulitan. Imam al-Amidi mengatakan bahwa ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang bersifat dhonni, sampai merasa dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan. Imam Syafi’I menegaskan bahwa seseorang tidak boleh mengatakan tidak tahu terhadap permasalahan apabila ia belum melakukan dengan sungguh-sungguh dalam mencari sumber hukum dalam permasalahan tersebut. Demikian juga, ia tidak boleh mengatakan tahu sebelum ia sungguh-sungguh menggali sumber hukum dengan sepenuh tenaga. Imam Syafi-I hendak menyimpulkan bahwa dalam berijtihad hendaklah dilakukan dengan sungguh-sungguh. Artinya, mujtahid juga harus memiliki kemampuan dari berbagai aspek criteria seorang mujtahid agar hasil ijtihadnya bisa menjadi pedoman bagi orang banyak. Dalam definisi lain, dikatakan bahwa ijtihad adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.
Apabila sesorang telah berijtihad untuk mengetahui hukum suatu makanan atau minuman secara maksimal dan belum mengetahui hasil kebenarannya, dalam kasus ini ialah kebenaran sumber bahan-bahan penyusun karbonaktif yang berfungsi menyaring kontaminan baik padatan ataupun ionik dalam filter air minum, maka jika sesorang tersebut masih memiliki keraguan atas kehalalannya hendaknya lebih baik ia meninggalkan penggunaan alat filter tersebut berdasarkan makna syubhatnya suatu makanan atau minuman yang belum diketahui secara pasti hukumnya. Pun jika orang tersebut sudah mengetahui bahwa salah satu bahan komponen penyusun alat tersebut berasal dari babi atau binatang haram lainnya maka ia wajib untuk meninggalkan penggunaan alat tersebut.
Namun jika seseorang telah berijtihad semaksimal munngkin dan merasa yakin bahwa alat filter tersebut halal dan tidak mengandung babi, dan belum terdapat bukti-bukti lain yang meyakinkan ia bahwa alat tersebut haram, maka berdasarkan dalam kaidah ushul fiqih “Keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keraguan” maka ia bisa menggunakan alat filtrasi tersebut selama hatinya mantap yakin dan tidak ada keraguan bahwa alat tersebut halal dan tidak mengandung unsur babi. Wallahu a’lam bisshawab.