Minggu, 08 Februari 2015

Satu Malam di Jalak Harupat

Satu Malam di Jalak Harupat


Tulisan ini berisi cerita tentang pengalaman seseorang yg nonton langsung Persib vs Persija ke stadion Si Jalak Harupat tanggal 29 Januari 2012 kemaren. Lengkap dari berangkat nyampe pulangnya kaya gimana. Tulisannya mantap lah, keren! Jadi saya copast di blog ini. Mangga…
Oleh : Pangeran Siahaan
       Saya tak tahu seperti apa rupa Bandung pada 1946 saat tentara Republik bekerja sama dengan warga membakar rumah mereka untuk mencegah kehadiran tentara Sekutu dan NICA Belanda dalam peristiwa yang dikenal dengan Bandung Lautan Api itu. Tapi dalam skala yang berbeda saya mendapatkan impresi serupa usai pertandingan Persib melawan Persija pada Minggu (29/1) kemarin.
     Puluhan mercon ditembakkan ke udara ditambah dengan flare merah yang menyala tanpa henti di berbagai penjuru tribun Stadion Jalak Harupat plus nyanyian Halo-Halo Bandung yang berkumandang usai wasit meniupkan peluit panjang menandakan bahwa mereka bukan saja baru memenangi pertandingan sepak bola, tapi juga baru menang perang melawan rival dari ibu kota negara.
       Pertandingan Persib melawan Persija adalah salah satu partai paling penting dan sengit dalam jagat sepak bola Indonesia. Pertandingan yang dijamin bertensi tinggi dan emosional dengan sentimen antar suporter yang selalu membara.
         Sudah bukan rahasia bahwa suporter Persib dan Persija bukanlah teman akrab dan ada peraturan tak tertulis bahwa suporter masing-masing klub dilarang berangkat tandang ke kandang lawan demi alasan keselamatan. Kalau nekat, risiko ditanggung sendiri ditambah polisi yang tak bisa memberi jaminan keselamatan.
Partai ini tak pernah saya lewatkan jika digelar di Jakarta, tapi belum pernah sekalipun saya menyaksikannya di Bandung, maka kali ini saya memutuskan berangkat ke Bandung demi menyaksikan sendiri bagaimana fanatisme para bobotoh menyambut pertandingan penuh gengsi dan angkara ini.
         Bukannya tanpa risiko saya berangkat ke Bandung. Saya bukan pendukung Persija atau Persib, saya hanya gemar menonton dan merasakan atmosfer pertandingan sepak bola. Tapi bagaimana pun saya tetap orang Jakarta, dan orang Bandung tak begitu antusias melihat orang Jakarta terlebih pada hari pertandingan ini.
         Belakangan logat Jakarta saya hampir membawa masalah ketika seorang bobotoh menghampiri saya dan menanyakan sesuatu dalam bahasa Sunda. Saya mengerti apa yang ia ucapkan tapi menjawabnya dengan logat Jakarta dan seketika beberapa kawannya datang mengerubungi. Butuh waktu yang agak lama ditambah detak jantung yang berdegup untuk meyakinkan mereka bahwa saya bukanlah penyusup dari pihak musuh.
       Anda yang tak biasa menyaksikan sepak bola Indonesia pasti akan tercengang menyaksikan bagaimana level kebencian suporter dua klub ini terhadap satu sama lain. Sudah merupakan adat bagi skuad Persija untuk berangkat ke stadion di Bandung dengan menggunakan panser atas nama keselamatan. Siapa yang bilang sepak bola bukan perang?
     Perjalanan untuk mencapai stadion Jalak Harupat yang berlokasi di pinggir kota Bandung pun memberikan kesan tersendiri. Kedua sisi jalan menuju stadion dipenuhi warga yang ingin melihat para suporter berarakan ke kuil sepak bola.
        Para ibu menggandeng anaknya sedangkan para remaja putri berdiri dengan senyum tersungging ke arah para suporter. Relatif hanya pria-pria paruh baya yang menemani mereka memberi semangat dari pinggir jalan. Mereka yang lebih muda pasti turut berangkat ke stadion, memberi kesan bahwa mereka yang berada dalam usia produktif sedang mengikuti wajib militer.
Jalanan menuju Jalak Harupat pun macet total dan kami harus memarkir mobil kurang lebih 1 km dari stadion untuk disambung dengan jalan kaki. Karena jalan aspal dipadati oleh mobil dan motor yang bersikukuh untuk mendekati stadion, maka para pejalan kaki harus menempuh jalur lain yang tak lazim: pematang sawah!
         Maka para penggila sepak bola ini pun beriringan meniti pematang sawah yang licin dan berlumpur akibat hujan. Beberapa tak bisa menjaga keseimbangan dan tercebur jatuh ke dalam lumpur.
Iring-iringan suporter ini pun terpaksa membelah sawah sambil menginjak-injak padi yang mudah-mudahan tak mengganggu suplai beras negara ini. Seorang teman dengan jenaka mengatakan bahwa inilah wajah asli sepak bola negara kita. Sepak bola agraria.
         Pemandangan mencengangkan lain adalah saat kami sedang bergerak menuju stadion, banyak juga suporter yang bergerak ke arah sebaliknya, menggelitik pikiran untuk bertanya ke mana mereka hendak pergi. Tidak semua suporter yang datang ke stadion memiliki tiket dan orang-orang yang bergerak menjauhi stadion ini adalah mereka yang sudah puas untuk sekadar ”isi absen” di stadion tanpa menyaksikan pertandingannya.
        Beberapa penonton lain yang tak memiliki tiket bersiaga di depan pintu stadion untuk menunggu sesuatu yang kata orang Jakarta disebut dengan ”menunggu jebolan”. Para suporter tanpa tiket lain yang lebih cerdik membawa tali tambang untuk memanjat tembok stadion dan mereka yang sudah sampai di atas membantu rekannya yang masih di bawah. Bagaikan penyerbuan benteng kerajaan pada abad pertengahan.
Menyaksikan pertandingan sepak bola seperti ini seperti menyaksikan sebuah perayaan pemujaan tribal dengan sepak bola sebagai mediumnya. Semua orang berpartisipasi dalam kapasitasnya masing-masing untuk ikut serta dalam satu identitas yang mereka semua miliki. Dalam kasus ini, identitas tersebut adalah Persib Bandung.
      Benar bahwa sepak bola adalah pesta rakyat dan getah manisnya bisa dirasakan semua pihak yang bersinggungan dengannya. Rumah-rumah warga di sekitar jalan menuju stadion berubah fungsi pada hari pertandingan menjadi tempat penitipan motor.
       Gilanya, tidak hanya pekarangan dan garasi, bahkan ruang tamu pun berubah jadi tempat parkir motor. Warung-warung kelontong kebanjiran pembeli dan dagangan penjaja makanan ludes diserbu para suporter yang kelaparan.
       Akses jalan yang terbatas dan banjir kendaraan menyebabkan saya baru bisa beranjak pergi dari stadion hampir tengah malam, tiga jam setelah pertandingan selesai. Bayangkan berapa banyak waktu yang harus dialokasikan para suporter yang datang dari kota-kota seperti Majalengka dan Cirebon. Praktis 24 jam mereka habiskan untuk sepak bola.
       Di perjalanan pulang, kami bertemu dengan bobotoh dari Subang yang tak bisa pulang karena kendaraannya mogok. Ternyata ia dan teman-temannya memutuskan untuk pulang dengan berjalan kaki ke Subang. Saat ditanya kenapa ia nekat pulang jalan kaki, ia menjawab mantap, ”besok sekolah….”
sumber : http://www.beritasatu.com/blog/olahraga/1366-satu-malam-di-jalak-harupat.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar