Satu Malam di Jalak Harupat
Tulisan ini berisi cerita tentang pengalaman seseorang yg nonton
langsung Persib vs Persija ke stadion Si Jalak Harupat tanggal 29
Januari 2012 kemaren. Lengkap dari berangkat nyampe pulangnya kaya
gimana. Tulisannya mantap lah, keren! Jadi saya copast di blog ini.
Mangga…
Oleh : Pangeran Siahaan
Saya tak tahu seperti apa rupa Bandung pada 1946 saat tentara
Republik bekerja sama dengan warga membakar rumah mereka untuk mencegah
kehadiran tentara Sekutu dan NICA Belanda dalam peristiwa yang dikenal
dengan Bandung Lautan Api itu. Tapi dalam skala yang berbeda saya
mendapatkan impresi serupa usai pertandingan Persib melawan Persija pada
Minggu (29/1) kemarin.
Puluhan mercon ditembakkan ke udara ditambah dengan flare
merah yang menyala tanpa henti di berbagai penjuru tribun Stadion Jalak
Harupat plus nyanyian Halo-Halo Bandung yang berkumandang usai wasit
meniupkan peluit panjang menandakan bahwa mereka bukan saja baru
memenangi pertandingan sepak bola, tapi juga baru menang perang melawan
rival dari ibu kota negara.
Pertandingan Persib melawan Persija adalah salah satu partai paling
penting dan sengit dalam jagat sepak bola Indonesia. Pertandingan yang
dijamin bertensi tinggi dan emosional dengan sentimen antar suporter
yang selalu membara.
Sudah bukan rahasia bahwa suporter Persib dan Persija bukanlah teman
akrab dan ada peraturan tak tertulis bahwa suporter masing-masing klub
dilarang berangkat tandang ke kandang lawan demi alasan keselamatan.
Kalau nekat, risiko ditanggung sendiri ditambah polisi yang tak bisa
memberi jaminan keselamatan.
Partai ini tak pernah saya lewatkan jika digelar di Jakarta, tapi
belum pernah sekalipun saya menyaksikannya di Bandung, maka kali ini
saya memutuskan berangkat ke Bandung demi menyaksikan sendiri bagaimana
fanatisme para bobotoh menyambut pertandingan penuh gengsi dan angkara ini.
Bukannya tanpa risiko saya berangkat ke Bandung. Saya bukan pendukung
Persija atau Persib, saya hanya gemar menonton dan merasakan atmosfer
pertandingan sepak bola. Tapi bagaimana pun saya tetap orang Jakarta,
dan orang Bandung tak begitu antusias melihat orang Jakarta terlebih
pada hari pertandingan ini.
Belakangan logat Jakarta saya hampir membawa masalah ketika seorang bobotoh
menghampiri saya dan menanyakan sesuatu dalam bahasa Sunda. Saya
mengerti apa yang ia ucapkan tapi menjawabnya dengan logat Jakarta dan
seketika beberapa kawannya datang mengerubungi. Butuh waktu yang agak
lama ditambah detak jantung yang berdegup untuk meyakinkan mereka bahwa
saya bukanlah penyusup dari pihak musuh.
Anda yang tak biasa menyaksikan sepak bola Indonesia pasti akan
tercengang menyaksikan bagaimana level kebencian suporter dua klub ini
terhadap satu sama lain. Sudah merupakan adat bagi skuad Persija untuk
berangkat ke stadion di Bandung dengan menggunakan panser atas nama
keselamatan. Siapa yang bilang sepak bola bukan perang?
Perjalanan untuk mencapai stadion Jalak Harupat yang berlokasi di
pinggir kota Bandung pun memberikan kesan tersendiri. Kedua sisi jalan
menuju stadion dipenuhi warga yang ingin melihat para suporter berarakan
ke kuil sepak bola.
Para ibu menggandeng anaknya sedangkan para remaja putri berdiri
dengan senyum tersungging ke arah para suporter. Relatif hanya pria-pria
paruh baya yang menemani mereka memberi semangat dari pinggir jalan.
Mereka yang lebih muda pasti turut berangkat ke stadion, memberi kesan
bahwa mereka yang berada dalam usia produktif sedang mengikuti wajib
militer.
Jalanan menuju Jalak Harupat pun macet total dan kami harus memarkir
mobil kurang lebih 1 km dari stadion untuk disambung dengan jalan kaki.
Karena jalan aspal dipadati oleh mobil dan motor yang bersikukuh untuk
mendekati stadion, maka para pejalan kaki harus menempuh jalur lain yang
tak lazim: pematang sawah!
Maka para penggila sepak bola ini pun beriringan meniti pematang
sawah yang licin dan berlumpur akibat hujan. Beberapa tak bisa menjaga
keseimbangan dan tercebur jatuh ke dalam lumpur.
Iring-iringan suporter ini pun terpaksa membelah sawah sambil
menginjak-injak padi yang mudah-mudahan tak mengganggu suplai beras
negara ini. Seorang teman dengan jenaka mengatakan bahwa inilah wajah
asli sepak bola negara kita. Sepak bola agraria.
Pemandangan mencengangkan lain adalah saat kami sedang bergerak
menuju stadion, banyak juga suporter yang bergerak ke arah sebaliknya,
menggelitik pikiran untuk bertanya ke mana mereka hendak pergi. Tidak
semua suporter yang datang ke stadion memiliki tiket dan orang-orang
yang bergerak menjauhi stadion ini adalah mereka yang sudah puas untuk
sekadar ”isi absen” di stadion tanpa menyaksikan pertandingannya.
Beberapa penonton lain yang tak memiliki tiket bersiaga di depan
pintu stadion untuk menunggu sesuatu yang kata orang Jakarta disebut
dengan ”menunggu jebolan”. Para suporter tanpa tiket lain yang lebih
cerdik membawa tali tambang untuk memanjat tembok stadion dan mereka
yang sudah sampai di atas membantu rekannya yang masih di bawah.
Bagaikan penyerbuan benteng kerajaan pada abad pertengahan.
Menyaksikan pertandingan sepak bola seperti ini seperti menyaksikan
sebuah perayaan pemujaan tribal dengan sepak bola sebagai mediumnya.
Semua orang berpartisipasi dalam kapasitasnya masing-masing untuk ikut
serta dalam satu identitas yang mereka semua miliki. Dalam kasus ini,
identitas tersebut adalah Persib Bandung.
Benar bahwa sepak bola adalah pesta rakyat dan getah manisnya bisa
dirasakan semua pihak yang bersinggungan dengannya. Rumah-rumah warga di
sekitar jalan menuju stadion berubah fungsi pada hari pertandingan
menjadi tempat penitipan motor.
Gilanya, tidak hanya pekarangan dan garasi, bahkan ruang tamu pun
berubah jadi tempat parkir motor. Warung-warung kelontong kebanjiran
pembeli dan dagangan penjaja makanan ludes diserbu para suporter yang
kelaparan.
Akses jalan yang terbatas dan banjir kendaraan menyebabkan saya baru
bisa beranjak pergi dari stadion hampir tengah malam, tiga jam setelah
pertandingan selesai. Bayangkan berapa banyak waktu yang harus
dialokasikan para suporter yang datang dari kota-kota seperti Majalengka
dan Cirebon. Praktis 24 jam mereka habiskan untuk sepak bola.
Di perjalanan pulang, kami bertemu dengan bobotoh dari
Subang yang tak bisa pulang karena kendaraannya mogok. Ternyata ia dan
teman-temannya memutuskan untuk pulang dengan berjalan kaki ke Subang.
Saat ditanya kenapa ia nekat pulang jalan kaki, ia menjawab mantap,
”besok sekolah….”
sumber : http://www.beritasatu.com/blog/olahraga/1366-satu-malam-di-jalak-harupat.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar