Penulis : Dr. Jenuri, S.Ag, M.Pd
Dary Amran Yardiansyah
Farras Destariansyah
Muhammad Irfan Fakhruddin
Dalam konteks Indonesia bahkan dunia dewasa ini,
persoalan konsumsi halal masih menjadi problem yang hangat dan aktual.
Banyaknya tuntutan masyarakat tentang kejelasan status kehalalan suatu produk
menjadikan banyak negara, lembaga dan ilmuwan kembali serius memperhatikan
persoalan konsumsi halal. Oleh karena itu penelitian ini ingin melihat kembali
permasalahan dan konsep yang mendasar yang dikemukakan al-Qur’an tentang
konsumsi, dan hal-hal yang menjadi kriterianya. Penelitian ini di bagi kepada
tiga bagian. Bagian pertama betujuan untuk menemukan defenisi ‘halal’ dan
‘haram’ sebagaimana yang diisyaratkan Al-Qur’an. Bagian kedua, mendiskusikan
hal-hal yang berkaitan dengan konsumsi; terma konsumsi dalam Islam, sifat dan
prinsip konsumsi dalam Islam. Bagian ketiga mengemukakan penetapan halal dan
haram dalam hal konsumsi. Langkah-langkah yang ditempuh dalam tiap bagian dari
penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Untuk menemukan defenisi
‘halal’ dan ‘haram’ yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an maka dilakukan penelitian
dengan metode mauḍū`i. Terma-terma halal dan haram dan derivasinya dalam
Al-Qur’an diteliti berdasarkan makna akar kata dan konteksnya di dalam ayat.
Untuk mendapatkan makna yang berkaitan dengan konsumsi maka makna-makna halal
dan haram yang dikumpulkan kemudian diperkecil kelompoknya berdasarkan konteks
konsumsi. Langkah-langkah yang ditempuh adalah dengan melakukan penelitian atau
studi pustaka, mengumpulkan data bagaimana sebenarnya konsep konsumsi dalam
Islam. Akhirnya ditemukan satu kesimpulan tentang makna yang diisyaratkan
al-Qur’an. Bagian ketiga, menemukan bagaimana penetapan ‘halal’ dan ‘haram’
dalam hal konsumsi. Al-Qur’an menjelaskan konsep-konsep halal dan haram dalam
hal konsumsi pada dasarnya mengandung nilai-nilai kemuliaan bagi manusia. Halal
dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kemuliaan bagi manusia. Haram
dimaksudkan untuk melindungi manusia dari hal-hal yang dapat membahayakan dan
merendahkan manusia dan fungsi kemanusiaannya. Islam memandang bahwa konsumsi
adalah suatu kegiatan menghabiskan barang dan jasa dalam upaya memenuhi
kebutuhan, keinginan dan kepuasan pelaku konsumsi yang didasari oleh kesadaran
bahwa kegiatan tersebut dilaksanakan dalam kerangka ridha Allah dan untuk
mencapai keridhaan Allah. Dalam Al-Qur’an, aktivitas konsumsi diungkapkan
dengan istilah-istilah akala-ya’kulu, syariba-yasyrabu, akhaza-ya’khuzu, nafaqa
– yanfiqu. Dari istilah-istilah ini disimpulkan ruang lingkup konsumsi mencakup
lima kategori. Pertama, halal dari aspek bendanya, yang mencakup konsumsi yang
berasala dari nabati, hewani, dan konsumsi olahan. Kedua, halal dari segi cara
memperoleh sumber dan anggarannya. Ketiga, halal dari aspek pengeluaran/
penggunaannya. Keempat, kategori halal dari proses dan pengolahannya. Kelima,
thayyib dari pola konsumsinya, meliputi pola konsumsi dari segi jumlah, waktu,
tata cara konsumsi dan dari segi kondisi pelaku konsumsi sendiri harus thayyib
atau baik bagi keadaan pelaku konsumsi tersebut.
Masalah
halal dan haram begitu sentral dalam pandangan kaum muslimin, hal ini karena ia
merupakan batas antara yang hak dan yang batil, atau lebih jauh antara surga
dan neraka. Halal dan haram akan selalu dihadapi oleh kaum muslimin
detik-demi-detik dalam rentang kehidupannya. Sehingga menandakan bepata pentingnya
kita mengetahui secara rinci batas antara apa yang halal dan apa yang haram.
Mengetahui persoalan halal-haram ini kelihatan mudah sepintas, tetapi kemudian
menjadi sangat sukar ketika berhadapan dengan kehidupan keseharian, yang kadang
menjadi kabur, sulit membedakan mana yang halal dan mana yang haram, atau
bahkan menjadi syubhat, karena tidak termasuk keduanya, atau karena percampuran
keduanya. Hujjatul Islam Imam Abul Hamid al-Ghazali, sebagai pakar yang
menghidup-hidupkan ilmu agama Islam telah memberikan uraian yang jelas tentang
persoalan halal dan haram ini dengan seksama dalam magnum opusnya Ihya’ ‘ulum
al-Din, yang telah disarikan oleh beberapa pakar termasuk kitab Mau’idhah
al-Mukminin min Ihya’ ‘Ulum al-Din oleh Syekhul Islam Jalaluddin al-Qasimi
Penetapan
halal dan haram dalam hal yang berkaitan dengan konsumsi dikategorikan kepada
beberapa hal yaitu pertama, penetapan dengan berpedoman pada penggunaan kata
halal dan haram yang disebutkan dalam ayat-ayat al-Qur‟an. Kedua, penetapan
berdasarkan shighat perintah dan larangan. Ketiga, penetapan berdasarkan kepada
kriteria atau sifat konsumsi. Penentuan halal dan haram bersumber dari
al-Qur‟an, hadis, ijma‟ ulama, Qiyas dan Qaulushahabi yang semuanya diatur
dalam Fiqh.1 Penentuan halal dan haram dapat dilihat dari beberapa hal. Dasar
pertama yang ditetapkan Islam adalah bahwa asal sesuatu yang diciptakan Allah
adalah halal dan mubah. Oleh karena itu, dalam penetapan kehalalan sesuatu
selain adanya petunjuk kehalalannya, segala sesuatu yang tidak ada nash yang
menunjukan larangan atau indikator yang mendekati larangan tersebut ditetapkan
dengan hukum asalnya yaitu mubah dan halal
“Asal segala sesuatu adalah mubah (boleh)
sampai ada yang dalil yang mengharamkannya.” Berdasarkan prinsip tersebut juga
bahwa hukum asal dari segala sesuatu adalah mubah/boleh selama tidak ada
larangan yang menjelaskannya, maka tidak ada 1 Departemen Agama RI, Tanya Jawab
Sekitar Produksi Halal (Jakarta: Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji,
2003), h. 1. 240 satupun yang haram, kecuali karena ada nash yang sah dan tegas
dari syar`i (yang berwenang membuat hukum itu sendiri ialah Allah dan Rasul).2
Oleh karena itu, penetapan keharaman sesuatu adalah karena adanya dalil/nash
yang mengharamkannya. Namun selain penyebutan keharaman sesuatu secara jelas
dan tegas berdasarkan dalil, keharaman sesuatu juga dapat ditetapkan melalui
kriteria-kriteria yang disebutkan oleh dalil atau nas. Selain ciri umum di atas
penetapan kehalalan dan keharaman sesuatu dapat dilihat dari hal-hal berikut.
A. Penentuan dengan Penggunaan Kata Halal dan Haram atau yang seakar dan
sinonim dengannya. Secara khusus di dalam al-Qur‟an Allah juga menyatakan
secara tegas kehalalan sesuatu dengan menyebutkan kata halal atau yang seakar
dengannya atau yang sinonim dengannya. Kata-kata halal atau yang seakar antara
lain; uhillat, yuhillu, dan lain-lain. Kata yang sinonim juga termasuk pada
kategori ini. Kata yang sinonim dengan kata halal yaitu kata ṭayyib sebagaimana
sebagaimana dikemukakan Imam Syaukani yang dimaksud dengan ṭayyib adalah halal.
Babi adalah sejenis hewan
ungulate yang bermoncong panjang dan berhidung lemper dan merupakan hewan yang
berasal dari Eurasia yang kadang juga dirujuk sebagai khinzir. Memiliki berat
250-350 kg dan tinggi 75-92 cm.
Dalam islam babi merupakan hewan yang diharamkan untuk dikonsumsi. Pada
kenyataan babi merupakan hewan yang jorok. Babi adalah hewan yang kerakusannya
dalam makan tidak tertandingi hewan lain. Ia makan semua makanan yang ada di
depannya. Jika perutnya telah penuh atau makanannya telah habis, ia akan
memuntahkan isi perutnya dan memakannya lagi, untuk memuaskan kerakusannya. Ia
tidak akan berhenti makan, bahkan memakan muntahannya. Ia memakan semua yang
bisa dimakan di hadapannya. Memakan kotoran apa pun di depannya, entah kotoran
manusia, hewan atau tumbuhan, bahkan memakan kotorannya sendiri, hingga tidak
ada lagi yang bisa dimakan di hadapannya. Kadang ia mengencingi kotorannya dan
memakannya jika berada di hadapannya, kemudian memakannya kembali. Ia memakan
sampah busuk dan kotoran hewan. Babi adalah hewan mamalia satu-satunya yang
memakan tanah, memakannya dalam jumlah besar dan dalam waktu lama jika
dibiarkan. Kulit orang yang memakan babi akan mengeluarkan bau yang tidak
sedap.
Babi juga tidak memiliki leher. Itu artinya babi tidak dapat disembelih
layaknya hewan lainnya. Penyembelihan hewan dileher bertujuan untuk mematikan
hewan dengan membuatnya kehabisan darah bukan karena kerusakan organ atau yang
lain. Sebagaimana yang kita tahu dalam islam darah adalah hal yang juga haram
untuk dikonsumsi. Menurut kedokteran darah mengandung banyak sekali racun dalam
tubuh. Jadi dengan menyembelih hewan, darah yang ada pada hewan tersebut akan
keluar dan tidak mencemari daging. Sementara pada babi yang tidak memiliki
leher, lmu kedokteran mengatakan bahwa babi merupakan inang dari banyak
macam parasit dan penyakit berbahaya, sistem biochemistry babi mengeluarkan
hanya 2% dari seluruh kandungan uric acidnya, sedangkan 98% sisanya tersimpan dalam
tubuhnya atau daging. Itu artinya mengonsumsi daging babi sama halnya dengan
memakan berbagai parasit dan memasukkan kuman dalam tubuh.
Selain itu daging babi sendiri adalah daging yang sangat sulit dicerna karena
banyak mengandung lemak. Meskipun empuk dan terlihat begitu enak dan lezat,
namun daging babi sulit dicerna. Ibaratnya racun, seperti halnya cholesterol.
Selain itu, daging babi menyebabkan banyak penyakit : pengerasan pada urat
nadi, naiknya tekanan darah, nyeri dada yang mencekam (angina pectoris) , dan
radang pada sendi-sendi.
Pemanfaatan
babi hukumnya haram, baik atas daging, lemak, maupun bagian-bagian lainnya.
Firman Allah SWT dalam QS.5:3 mengharamkan konsumsi bangkai, darah, dan daging
babi. Demikian juga dengan firman-Nya dalam QS.6:145 dan QS.16.115,
mengharamkan konsumsi bangkai, darah, dan daging babi. Dalil-dalil pada
beberapa ayat ini merupakan nash yang jelas, yang menegaskan tentang keharaman,
antara lain mengkonsumsi babi. Al-Qur’an menggunakan kata lakhma (daging)
karena sebagian besar pengambilan manfaat dari babi adalah daging. Selain itu,
dalam daging babi selalu terdapat lemak.
Kendati Al-Qur’an menggunakan
kata lakhma, pengharaman babi bukan hanya dagingnya. Tetapi seluruh tubuh hewan
babi. Pandangan ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh: min dzikri’l-juz I wa
iradati’l kulli. Artinya yang disebutkan sebagian dan dikehendaki
seluruhnya.Bahwa daging babi mengandung cacing pita (taenia solium), hampir
semua orang sudah mengenalnya. Ternyata tidak hanya itu bahaya yang mengancam
pemakan babi. Lemak babi mengandung kolesterol paling tinggi dibandingkan
dengan lemak hewan lainnya. Darahnya mengandung asam urat paling tinggi. Asam
urat merupakan bahan yang jika terdapat dalam darah dapat menimbulkan berbagai
penyakit pada manusia. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa sedikitnya 70 jenis
penyakit yang lazim diidap hewan babi dan beberapa diantaranya dapat ditularkan
manusia yang memakannya.
Hikmah diharamkannya daging
babi, terutama keberadaan cacing pita, seringkali disanggah oleh para ahli
kesehatan modern. Mereka mengatakan bahwa cacing tersebut mudah dihilangkan
bahkan dengan teknik pemasakan yang paling sederhana. Pandangan ini sungguh
menyesatkan karena babi itu sendiri menjijikkan bagi orang yang bersih jiwanya.
Allah SWT mengharamkan sejak masa silam untuk waktu yang lama agar manusia
mengetahui. Manusia kini baru mengenal sedikit bahayanya, yakni cacing pita,
namun demikian jauh sebelum itu Allah SWT telah mengharamkannya. Mungkin
sekarang orang menganggap bahwa peralatan masak modern telah mengalami
kemajuan, sehingga ada asumsi kalau daging babi tidak lagi membahayakan dan
bukan merupakan sumber ancaman bagi manusia. Dengan teknologi pengolahan
makanan dan teknik pemanasan yang canggih, bahaya itu sudah bisa dihilangkan.
Mereka lupa bahwa untuk
mengatasi bahaya cacing pita saja telah memakan waktu berabad-abad. Itu hanya
untuk mengungkap satu penyakit saja. Siapa yang dapat menjamin bahwa di luar
penyakit itu sudah tidak ada lagi bahaya yang terkandung dalam daging babi.
Apakah tidak selayaknya syari’at yang jauh lebih mendahului kemajuan
pengetahuan manusia puluhan abad yang lalu kita percayai sepenuhnya? Semua
keputusan diserahkan pada syari’at. Kita menghalalkan apa yang dibolehkan dan
menghindari apa yang dilarang. Syariat ini adalah dari Allah Yang Maha
Bijaksana dan Maha Mengetahui bentuk dan karakteristik segala makhluk-Nya.
Lemak babi sendiri mengandung
bahan untuk bangunan. Daging Babi mempunyai sedikit otot (lemak) yang
mengandung bahan untuk bangunan dan kelebihan lemak. Lemak ini mengendap di
tubuh dan dapat menyebabkan hipertensi dan serangan jantung. Tidak mengherankan
bahwa lebih dari 50% dari Amerika menderita hipertensi. Tabel berikut akan
menjelaskan kadar lemak yang terdapat dalam daging babi dan hewan lainnya:
· Babi
gemuk 91%, Kambing gemuk 56%, Sapi gemuk 35%
· Babi
sedang 60%, Kambing sedang 29%, Sapi sedang 20%
· Babi
kurus 29%, Kambing kurus 14%, Sapi kurus 6%
Selain itu jika dibiarkan
berada di udara terbuka maka daging yang pertama kali busuk adalah daging babi,
diikuti daging domba dan yang terakhir adalah daging sapi. Akan tetapi apabila
daging-daging tersebut dimasak, maka yang paling lambat masaknya adalah daging
babi.Dari hasil penelitian juga diperoleh kesimpulan bahwa daging kambing dan
daging sapi berada dalam lambung selama 3 jam proses pencernaan sempurna,
sementara daging babi bisa berada dalam lambung selama 5 jam hanya untuk
memperoleh hasil pencernaan yang sempurna.
Sebuah artikel yang
mengatakan : ”Bahwa seseorang itu berkelakuan sesuai dengan apa yang
dimakannya.” Melihat tayangan di salah satu TV swasta, seorang profesor dari
IPB (lupa namanya) telah meneliti struktur DNA babi. Sesuatu yang mengejutkan
ternyata, struktur gen babi itu mirip dengan struktur gen manusia. Jadi dapat
dikatakan gen babi sama dengan gen manusia, jadi apabila kita memakan babi sama
halnya kita memakan daging manusia atau kanibal. Jadi bukan tidak mungkin jika
sifat babi bisa menular pada diri para konsumennya.
Yang paling banyak kegunaannya adalah dari tulang
babi, selain jarang terdeteksi oleh mata kita secara langsung dari
tulang babi biasanya sudah dijadikan gelatin yang penggunaannya untuk membuat
kapsul, jelly, puding, jam, selai, permen dan marsmallow. Fungsi Tulang yang
umum adalah dipakai dalam campuran untuk kuah bakso dan mengambil kalsium untuk
dimasukkan ke dalam susu, minuman dan pasta gigi. Sedangkan tulang babi sering
juga dipakai sebagai karbon aktif (bahan penjernih air yang dipakai pada
industri penjernihan minuman isi ulang). Yang sedikit terlupakan gelatin yang
terbuat dari tulang babi biasanya dipergunakan untuk membuat stabilizer yang
dipergunakan untuk membuat juice, syrup dan margarine sedangkan gelatin yang
dipakai untuk pelembut yang dipergunakan untuk membuat cake dan biskuit.
Emulsifier yang dihasilkan dari gelatin biasanya dipakai pada pembuatan
yoghurt, es krim dan mentega. Memang, pada industri makanan dan obat-obatan,
utamanya, bahan karbon aktif dipergunakan sebagai penyaring cairan, menyerap
dan menghilangkan warna, bau dan rasa yang tidak enak. Bahan baku karbon atau
arang aktif dapat berasal dari bahan nabati seperti kayu dan tempurung kelapa
yang diolah menjadi arang. Dan dapat juga berasal dari bahan hewani, terutama
tulang hewan yang diolah menjadi arang.
“Kalau
berasal dari tulang hewan, maka bahan karbon aktif ini harus dicermati dan
diteliti dalam proses sertifikasi halal, jangan sampai menggunakan bahan yang
berasal dari tulang babi,” tuturnya wanti-wanti mengingatkan. Pemanfaatan
tulang babi menjadi karbon aktif, tambanhnya pula, banyak dilakukan kalangan
industri terutama di Eropa. Karena ketersediaan bahan dari tulang babi ini
relatif berlimpah dengan harga yang murah.
Memanfaatkan
Limbah Babi
Mengapa mereka menggunakan bahan karbon aktif itu dari
tulang babi? Sebagai jawabnya, karena secara ekonomis, bahan tulang babi di
sana sangat berlimpah, sebagai limbah atau sampah, produk samping dari rumah
pemotongan hewan (babi) industri daging babi. Di negeri-negeri itu, dari pada
limbah itu dibuang menjadi masalah, tentu lebih baik kalau bisa dimanfaatkan
menjadi bahan yang bernilai ekonomi.
Selain itu,
di kawasan Eropa, tempurung kelapa atau kayu juga sulit didapat, suplainya
sangat terbatas, dan dengan harga yang cukup tinggi. Sehingga dari sisi ekonomi
tentu sangat mereka perhitungkan. Sementara tulang babi tersedia melimpah, dan
dengan harga yang murah. Tentu ini menjadi sangat menggiurkan. Apalagi bagi
mereka relatif tidak ada pertimbangan halal-haram dengan kaidah agama seperti
yang kita yakini.
Tidak
Boleh Ada Intifa’
Para ulama
di Komisi Fatwa (KF) MUI, jelasnya pula, telah menetapkan fatwa, tidak boleh
ada Intifa’ atau pemanfaatan bahan dari babi dalam proses produksi dan
pengolahan produk pangan. Maka proses sertifikasi halal yang dilakukan oleh
LPPOM MUI dan penetapan fatwa halal oleh KF MUI merupakan satu usaha untuk
memastikan bahan-bahan dan proses yang dilakukan dalam produksi pangan,
obat-obatan dan kosmetika benar-benar tidak mengandung unsur yang haram menurut
syariah.
Sedangkan
bagi pihak perusahaan, landasan untuk menjamin produksi yang halal ini,
menurutnya lagi, adalah dengan memahami dan mengimplementasikan Sistim Jaminan
Halal yang konsisten. Dengan demikian, SJH dengan pelatihan yang
diselenggarakan oleh LPPOM MUI ini merupakan bagian dari upaya menjamin
produksi halal yang sangat dibutuhkan masyarakat. (Usm).
Di Televisi masih jarang
tersiar penjelasan tentang ketidak halalan air dalam kemasan, kalau boleh
dikatan malah nyaris tak pernah. Mencoba menjelaskan mengapa menjadi tidak
halalnya air minum dalam kemasan atau air isi ulang, salah satu faktor
penyebab utamannya adalah filter yang terpasang, apakah dari bahan yang
tidak halal. Masyarakat awam tidak mengerti atau mungkin kurang mengerti
apa-apa saj isi dari filter penyaring air itu, salah satunya arang aktif. Arang
aktif ada yang terbuat dari tulang hewan, seperti dari hewan
babi atau sapi, kalau pun dari sapi misalnya, cara pemotongan sapi
(ternak) yang tidak halal tidak menurut syariat Islam produk yang
dihasilkannya menjadi tidak halal. Sebagai orang awam tidak terbayangkan
oleh mereka bagaimana proses tulang hewan bisa menjadi filter
(arang aktif). Tulang hewan (sapi, babi) bukan hanya digunakan untuk
filter air isi ulang saja malah tulang tulang ini adalah bahan baku untuk
pembuat foam (busa) yang paling baik dan efektif untuk memadamkan
kebakaran, contoh untuk memadamkan api pada pesawat terbang yang terbakar,
adalah menggunakan busa (foam) dari tulang hewan itu, diproses sedemikian
rupa sehingga expansinya cukup baik untuk memutus mata rantai segitiga api.
Filter dari tulang hewan
Jika salah satu filter untuk menyaring air
itu terbuat dari tulang hewan kemudian air yang mengalir melalui filter
(berisi arang aktif yang terbuat dari tulang yang tidak
halal) menjadi kan air tidak halal.
Disamping filter tentunya ada lagi yang mempengaruhi ketidak
halalan air dalam kemasan, seperti alat anggkutnya, tempatnya atau
wadahnya dan lain-lain. tetapi faktor filter adalah yang dominan.
Pengganti arang aktif ini banyak juga di gunakan dari arang tempurung kelapa.
E.
Regulasi Halal
Jika dicermati, persoalan ketentuan produk halal
sudah cukup lama ada di negara kita.
Dalam PP No. 69 tahun 1999 pasal 1, pangan halal adalah pangan yang tidak
mengandung unsur atau bahan yang haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat
Islam, baik menyangkut bahan baku pangan, bahan bantu dan bahan penolong
lainnya termasuk bahan pangan yang diolah melalui proses rekayasa genetika dan
irradiasi pangan dan pengelolaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum
agama Islam. Keputusan bersama Menkes dan Menag No.427/ me.kes/VIII/1985 dan
No. 68 tahun 1985 pasal 1 menyebut makanan yang halal adalah semua jenis
makanan yang tidak mengandung unsur atau bahan yang terlarang/haram dan atau
diolah/diproses menurut agama Islam.
Secara internasional, aturan produk halal sudah
diatur dalam Halal-Codex GENERAL GUIDELINES FOR USE OF THE TERM
“HALAL”CAC/GL 24-1997. Sementara di Indonesia, jika dicermati, regulasi produk
halal secara jelas telah diatur. Berikut
ini sembilan peraturan terkait pangan halal di Indonesia sekaligus penjelasan
aturan detailnya:
1.
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 280/Menkes/Per/ XI/1976 tentang Ketentuan
Peredaran dan Penandaan pada Makanan yang mengandung Bahan berasal dari Babi.
Pasal 2 mengatur:
a) Pada wadah atau bungkus makanan yang diproduksi
di dalam negeri maupun yang berasal dari impor yang mengandung bahan yang
berasal dari babi harus dicantumkan tanda peringatan.
b) Tanda peringatan tersebut yang dimaksud pada ayat
(1) harus berupa gambar babi dan tulisan yang berbunyi : “MENGANDUNG BABI” dan
harus ditulis dengan huruf besar berwarna merah dengan ukuran sekurangkurangnya
Universe Medium Corps 12, di
dalam garis kotak persegi yang juga berwarna merah.
2.
Permenkes RI No. 76/Menkes/Per/III/78 tentang label dan Periklanan Makanan,
pasal 2 menyatakan bahwa: Kalimat, kata-kata, tanda lambang, logo, gambar dan
sebagainya yang terdapat pada label atau iklan harus sesuai dengan asal, sifat,
komposisi, mutu dan kegunaan makanan.
3.
Surat Keputusan Bersama antara Menteri Agama dan Menteri Kesehatan No. 427/Menkes/SKB/VIII/1985 dan
No. 68/1985 tentang Pencantuman Tulisan “Halal” pada Label Makanan.
Pasal 1 :
Tulisan “halal” adalah tulisan yang dicantumkan pada label/
penandaan yang memberikan jaminan
tentang halalnya makanan tersebut
bagi pemeluk agama Islam
Pasal 2 :
Produsen yang mencantumkan tulisan “halal” pada label atau penandaan
makanan produknya bertanggungjawab terhadap halalnya makanan tersebut bagi pemeluk agama Islam.
Pasal
4 :
a. Pengawasan preventif terhadap ketentuan pasal 2 Keputusan Bersama
ini dilakukan oleh Tim Penilaian Pendaftaran Makanan Departemen Kesehatan RI, cq. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.
b. Dalam tim penilaian pendaftaran makanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) pasal ini, diikutsertakan unsur Departemen Agama RI.
c. Pengawasan di lapangan terhadap pelaksanaan ketentuan pasal 2 Keputusan
Bersama ini dilakukan oleh aparat Departemen Kesehatan RI.
4. UU No. 23
tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 214 ayat (2) penjelasan butir (d) :
Ketentuan lainnya misalnya pencantuman kata atau tanda halal yang menjamin
bahwa makanan dan minuman yang dimaksud diproduksi dan diproses sesuai dengan
persyaratan makanan.
5. UU No. 7
tahun 1996 tentang Pangan, pasal (34) ayat (1) :
Setiap orang yang menyatakan dalam label atau iklan bahwa pangan yang
diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan tertentu
bertanggung jawab atas kebenaran peryataan berdasarkan persyaratan agama atau
kepercayaan tersebut.
Dalam kasus air
minum hasil filtrasi yang diduga alat filtrasinya tersusun atas karbon aktif
dari tulang babi ini, dapat dikategorikan bahwa alat yang menggunakan filter
dari karbonaktif untuk menyaring air tanah yang dijadikan menjadi air minum
menghasilkan sifat air minum yang syubhat jika dalam informasi alat tersebut
tidak mencantumkan bahan-bahan penyusun karbonaktif yang digunakan atau tidak
terdapat logo legalitas kehalalan suatu produk.
Makanan atau minuman yang syubhat artinya
makanan/minuman tersebut sifatnya meragukan, tidak jelas dasar hukumnya, serta
masih menjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama’. Menyikapi makanan/minuman
seperti ini, hendaknya seorang Muslim menjauhinya atau lebih baik ditinggalkan,
karena mendekati perkara-perkara yang syubhat lebih dekat pada hal yang
diharamkan. Pada hadits, sebagian Ulama berpendapat bahwa hal semacam itu haram
hukumnya berdasarkan sabda Rasulullah, “siapa menjaga dirinya dari yang
samar-samar itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya”. Siapa
yang tidak menyelamatkan agama dan kehormatannya, berarti dia telah terjerumus
kedalam perbuatan haram. Rasulullah SAW bersabda :
“Dari Al-Husain bin Ali r.a ia
berkata : Saya selalu ingat pada sabda Rasulullah Saw, yaitu: Tinggalkanlah
sesuatu yang meragukanmu dan kerjakanlah sesuatu yang tidak meragukanmu. (Riwayat
Tirmizy)
Namun jika
seseorang ingin memastikan suatu hukum syari dari suatu permasalahan yang masih
samar-samar sifat kehalalan atau
keharamannya, maka hendaklah ia berijtihad. Ijtihad berasal dari kata jahada.
Artinya mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban kesulitan. Imam
al-Amidi mengatakan bahwa ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan untuk
mencari hukum syara’ yang bersifat dhonni, sampai merasa dirinya tidak mampu
untuk mencari tambahan. Imam Syafi’I menegaskan bahwa seseorang tidak boleh
mengatakan tidak tahu terhadap permasalahan apabila ia belum melakukan dengan
sungguh-sungguh dalam mencari sumber hukum dalam permasalahan tersebut.
Demikian juga, ia tidak boleh mengatakan tahu sebelum ia sungguh-sungguh
menggali sumber hukum dengan sepenuh tenaga. Imam Syafi-I hendak menyimpulkan
bahwa dalam berijtihad hendaklah dilakukan dengan sungguh-sungguh. Artinya,
mujtahid juga harus memiliki kemampuan dari berbagai aspek criteria seorang
mujtahid agar hasil ijtihadnya bisa menjadi pedoman bagi orang banyak. Dalam
definisi lain, dikatakan bahwa ijtihad adalah
sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa
saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak
dibahas dalam Al Quran
maupun hadis dengan syarat menggunakan akal
sehat dan pertimbangan matang.
Apabila
sesorang telah berijtihad untuk mengetahui hukum suatu makanan atau minuman
secara maksimal dan belum mengetahui hasil kebenarannya, dalam kasus ini ialah
kebenaran sumber bahan-bahan penyusun karbonaktif yang berfungsi menyaring
kontaminan baik padatan ataupun ionik dalam filter air minum, maka jika
sesorang tersebut masih memiliki keraguan atas kehalalannya hendaknya lebih
baik ia meninggalkan penggunaan alat filter tersebut berdasarkan makna
syubhatnya suatu makanan atau minuman yang belum diketahui secara pasti
hukumnya. Pun jika orang tersebut sudah mengetahui bahwa salah satu bahan
komponen penyusun alat tersebut berasal dari babi atau binatang haram lainnya
maka ia wajib untuk meninggalkan penggunaan alat tersebut.
Namun jika
seseorang telah berijtihad semaksimal munngkin dan merasa yakin bahwa alat
filter tersebut halal dan tidak mengandung babi, dan belum terdapat bukti-bukti
lain yang meyakinkan ia bahwa alat tersebut haram, maka berdasarkan dalam
kaidah ushul fiqih “Keyakinan tidak bisa dihilangkan
oleh keraguan” maka ia bisa menggunakan alat filtrasi tersebut selama hatinya
mantap yakin dan tidak ada keraguan bahwa alat tersebut halal dan tidak
mengandung unsur babi. Wallahu a’lam bisshawab.